Ads Top

 Death Stranding Directors Cut jagatplay 90

Antara Anda benar-benar menyukainya atau benar-benar membenci apa yang ia tawarkan, kondisi inilah yang sepertinya mengitari nama Death Stranding setiap kali diskusi terkait dirinya mengemuka di dunia maya. Memainkan game yang meminta Anda berperan sebagai sebuah kurir yang harus melawan kerasnya medan perjalanan di tengah dunia post-apocalyptic memang bukanlah konsep yang bisa dinikmati semua gamer, apalagi mereka yang datang dengan ekspektasi ia akan mirip dengan seri Metal Gear – yang walaupun berfokus pada sisi stealth, tetapi menyajikan sisi aksi yang dominan. Lebih gilanya lagi? Cerita yang diusung pun cukup kompleks, dengan melebur mitologi klasik dan beragam jargon futuristik. Hampir 2 tahun setelahnya, ia siap kembali.

Mengikuti strategi “Director’s Cut” yang sempat ditempuh Sucker Punch dengan Ghost of Tsushima sebelumnya, Death Stranding kembali dirilis dalam format yang sama, hanya untuk Playstation 5 saja. Seperti yang bisa diprediksi, ia adalah sebuah proyek remaster yang hendak memanfaatkan performa konsol generasi terbaru Sony tersebut untuk memberikan pengalaman visual yang lebih definitif. Sebagai ekstra konten yang bisa dikejar, Kojima juga menyuntikkan beberapa hal baru, dari sekadar senjata, fitur tambahan, cerita sampingan ekstra, hingga beragam gimmick lainnya. Semuanya dibungkus dalam paket yang tentu saja, hadir dalam definisi lebih tinggi ini.

Lantas, apa yang sebenarnya ditawarkan oleh Death Stranding Director’s Cut ini? Mengapa kami menyebutnya sebagai sebuah paket game dalam definisi tinggi? Review ini akan membahasnya lebih dalam untuk Anda..


Apa itu Death Stranding?

Death Stranding Directors Cut jagatplay 13

Sebelum kita menyelam lebih jauh soal apa yang ditawarkan oleh versi Director’s Cut ini, ada baiknya jika kita membahas sedikit soal Death Stranding itu sendiri, yang mungkin tidak terdengar familiar bagi mereka yang entah untuk alasan apa, melewatkan versi Playstation 4 dan PC yang sudah tersedia selama dua tahun terakhir ini. Apa yang membuatnya berujung dipuja-puji dan dibenci di saat yang sama.

Review kami di tahun 2019 menyebutnya sebagai batas antara jenius dan gila seorang Hideo Kojima. Mengapa? Karena selama hampir 20 tahun aktivitas gaming kami dari era PC dengan 5.25” dan NES, menyenangkan dan melegakan untuk menemukan sebuah game yang berhasil menawarkan sensasi gameplay yang belum pernah ditawarkan oleh game manapun. Kita tentu tidak hanya bicara soal satu atau dua fitur saja, tetapi kolaborasi semua elemen yang menjadikan sebuah Death Stranding menjadi game yang kita kenal selama ini. Kita berbicara sebuah game yang meminta Anda untuk berperan sebagai kurir di dunia post-apocalyptic yang musuh utamanya justru terletak pada lingkungan yang harus ia lewati, bukan sekadar monster-monster yang mendiaminya. Semuanya dibangun di atas ambisi untuk menghasilkan pengalaman yang super positif.

Darinyalah, Kojima kemudian memperkenalkan apa yang ia perkenalkan sebagai Social Strand System sebagai poindasi untuk Death Stranding. Idenya memang bukan hal baru, mengingat ia mengusung konsep Asynchronous Multiplayer ala Dark Souls yang kemudian diperluas. Sistem ini memungkinkan gamer untuk meninggalkan pesan atau objek untuk digunakan gamer lain, yang kemudian bisa diberi tombol “Like” untuk meninggalkan emosi yang positif. Siapa yang mengira bahwa keputusan untuk menghadirkan terrain / dunia yang begitu sulit untuk dijelajahi, yang penuh monster, yang rawan kecelakaan dan kematian, memang butuh sentuhan “bantuan” teman online di seluruh dunia. Untuk konsep menghadirkan pengalaman positif, Death Stranding menawarkan sesuatu yang tak pernah ada di industri game sebelumnya.

Walaupun komitmennya untuk menghadirkan inovasi yang unik adalah sesuatu yang pantas untuk diapresiasi, Anda juga mau tidak mau harus memahami perasaan mereka yang berujung membenci game yang satu ini. Karena atas nama untuk merepresentasikan “sulitnya” pekerjaan sang karakter utama – Sam sebagai kurir di dunia post-apocalptic, Kojima memutuskan untuk membawanya dekat ke ranah simulasi. Menyebutnya sebagai game “Walking Simulator” memang tak berlebihan, karena 80% pengalaman Anda akan berkutat di aktivitas ini. Anda akan berjalan super jauh ke tujuan dengan kecepatan lambat, harus mempersiapkan semua perlengkapan yang kira-kira Anda butuhkan, dengan reward yang terkadang tak terasa seberapa. Semua kritik untuk “kegilaan” Kojima meracik game seperti ini, apalagi setelah hype yang besar, adalah sesuatu yang rasional.

Kesemuanya kemudian dilebur dengan rutinitas sinematik Kojima, pilihan musik, dan cerita kompleks-nya yang tak mudah dimengerti. Keputusan untuk menggunakan Decima Engine sebagai basis berhasil melahirkan “tanah Amerika” penuh kehancuran yang ciamik dipandang mata selama Anda menjalankan peran Anda sebagai kurir. Di tengah perjalanan jauh ini pula lah, Kojima juga mengaplikasikan beberapa lagu dari musisi beragam genre, yang untungnya efektif untuk membangun atmosfer yang tepat. Sementara dari sisi cerita? Sisi yang satu ini memang layaknya Metal Gear Solid, berujung lebih kompleks daripada yang Anda bayangkan. Cukup mengejutkan karena untuk urusan plot, alih-alih bertahan sepenuhnya pada sisi pengetahuan yang futuristik, ia juga menyuntikkan konsep mitologi yang tak rasional di dalamnya. Kombinasinya menarik, namun bukan sesuatu yang dirayakan.

Maka dengan semua kombinasi ini, Death Stranding jelas “menapakkan jejak-jejak” visi, misi, dan ambisi kreasi seorang Hideo Kojima di setiap sudutnya. Sebuah game yang tak pernah ada di industri game sebelumnya, yang berusaha menawarkan sesuatu yang baru dan berbeda, dan kemudian meleburnya dengan sensasi simulasi untuk sensasi bermain imersif. Pada akhirnya, ia bukan game yang dirancang untuk semua orang.

No comments:

Powered by Blogger.